Masyarakat paburan kini kehilangan sosok bersahaja yang menghidupkan
suasana perkampungan dengan aktivitas-aktivitas keagamaan. Sosok itu meninggal saat mengimami shalat maghrib di Masjid Al-Muawanam Paburan kecamatan Bojong
Gede kabupaten Bogor. Ia terjatuh saetelah membaca al-fatihah di rakaat kedua.
Dialah ustadz Yahya.
Adzan Maghrib bergema. Seperti biasa, para jamaah segera bergegas menuju
masjid. Demikian pula pak Yahya. Ia pun lekas-lekas melangkahkan kakinya.
Petang ini ,ia akan mengimami shalat maghrib di masjid.
Sesungguhnya kondisi kesehatan lelai ini sudah jauh menurun. Pasalnya
selain usianya yang sudah terbilang senja (70 tahun), 4 tahun terakhir ini ia
mengidap gejala jantung dan sesak napas. Tak mengherankan ia kurang kuat jika
berjalan agak jauh. Namun bila sekedar jalan ke masjid yang berjarak kurang
lebih 100m, ia masih cukup kuat sehingga memungkinkan baginya menjalankan
shalat berjamaah dengan jalan kaki. Sedangkan bilang mengisi pengajian di
majesli-majelis taklim, biasanya ia dijemput dan diantar kembali.
Pengobatan medis dan alternatif sebenarnya telah beberapa kali
dijalaninya. Sayang, penyakit yang diderita belum sembuh total. Sesekali sesak
nafas itu memang datang tiba-tiba. Kalau sudah demikian, ia merasakan lehernya
seperti dicekik. Biasanya sang istri, Ibu Romlah, membantu mengompres perutnya
dengan air hangat.
“saya juga mengeroknya. Memberikan minum teh campur madu dan telor. Bila
sudah tidur pulas biasanya badan bapak terlihat segar. Kebiasaaan inilah yang
terus berlangsung”.
Kondisi inilah yang terkadang memaksa diri bapak Yahya tidak selalu
hadir di masjid belakangan ini. Akan tetapi selagi kondisinya fit, ia selalu
datang ke masjid untuk menjalankan shalat berjamaah.
Seperti hari itu, Kamis di bulan November 2007, Pak Yahya tampak sehat.
Tak terllihat tanda-tanda sakitnya. Oleh karna itu, ia bergegas menuju masjid
seolah tak ingin melepaskan kemuliaan shalat berjamaah. Bila ia hadis, ia
hampir selalu didaulat menjadi imam shalat karena menurut jamaah, dialah yang
pasntar mengimami shalat berjamaah.
Sang istri pun mengira suaminya sehat-sehat saja. Sesak nafas juga
tidak. Hari Rabu malam Kamis, ia juga masih memberikan pengajian. Dan tadi pagi
juga masih berangkat ke masjid, mengimami shalat Subuh di masjid sehingga
rasanya tak ada yang perlu dikhawatirkan jika pertang ini suaminys shalat di
masjid lagi. Bahkan ba’da Subuh, bapak masij sempat berbincang-bincang dengan
teman akrabnya, H.Yusuf, soal bagaimana memakmurkan masjid di kampungnya.
Tak berselang lama setelah adzan selesai, iqamah menggema. Para jamaah
mempercayakan Pak Yahya sebagai imam hari itu. Dan lelaki ini melangkahkan kaki
keruang pengimamaan. Melihat dulu shaf jamaah dan menginstruksikan kepada para
jmaah untuk merapatkan barisannya. Terlihatt ada 3 shaf yang mengikuti shalat
Maghrib berjamaah.
Takbiratul ihram terdengar dari bibir sang imam. Disusul bacaan
al-fatihah serta surat al-kafirun. Apa ynag dilafadzkan sang imam begitu
tartil, mahraj dan tajwidnya begitu fasih. Apalagi pengetahuan ilmu keagamaan
di kampunya juga terbilang bagus.
Gerakan-gerakan shalat berjalan sebagaimana mestinya. Semuanya berjalan
dengan lancar hingga rakaat pertama usai. Masuk di rakaat kedua, sang imam
masih fasih melafadzkan bacaan al fatihah. Tapi ,tidak disangka, kalimat walad
dzhallin yang terucap dari bibir sang imam itu merupakan kalimat terakhir.
Begitu al-fatihah, seperti biasa para jamaah pun koor menjawab, “Aamiin”.
Sejurus kemudian, tubuh sang imam tersungkur di pengimaman. Bruuk,
badannya menutup sebagian ruang pengimaman yang memang ukurannya agak sempit.
Bacaan qulhu(QS. Al-ihlash) yang harusnya di lafadzkan (sudah menjadi kebiasaan
ketika shalat maghrib berjamaah di masjid tersebut) setelah fatihah di rakaat
kedua tak terdengar. Sebagian jamaah yang tahu ambruknya sang imam terperangah
melihatnya, tapi tetap berada dalam barisan shalat jamaah.
Makmum yang ada di belakangnya bermaksud menggantikan sang imam. Hanya
saja, ruangan imam yang sempit tak memungkinkan baginya untuk menggantikan
posisinya. Sebab fisik bapak yahya yang gemuk dan terjatuh tepat di pengimaman
menutup celah bagi makmum yang akan menggantikannya.
Kosentrasi para jamaah, termasuk H. Yusuf yang posisinya ada di sebelah
kiri pengimaman, buyar setelah menunggu sekian lama tak ada kelanjutan bacaan
qul hu. Memang sebelumnya para jamaah sudah pernah mendapatkan pelajaran bila
sang imam tidak bisa melanjutkan shalatnya, salah satu makmum bisa menjadi mam
dengan sedikit maju beberapa langkaah bila memungkinkan. Tapi bisa situasinya
tak memungkinkan, salah satu makmum memposisikan sebagai imam pengganti dan
jamaah lainnya mundur beberapa langkah. Sayangnya pelajaran kedua inilah yang
mungkin belum mereka dapatkan atau bisa jadi konsentrasi yang sudah telanjur
tak khusyuk lagi begitu melihat sang imam jatuh tersungkur.
“Saya sempat berpikir, ‘ada apa
ya ? kok tidak ada bacaan qul hu ‘ . Saya menunggu sampai hampir semenitan.
Eh, shalat tidak berlanjut,” ujar H. Yusuf
“ada apa ini ? kenapa ?”
“Bapak Yahya jatuh,” jawab salah
seorang jamaah.
“Tenang-tenang. Jangan ribut. Ayo
kita bawa keluar! “ seru H. Yusuf.
EmoticonEmoticon