air mampu mencapai pekarangan Istana Negara, sebuah peristiwa yang
jarang terjadi.
Ketika banjir itu terjadi, sakit yang diderita Indri berada
di puncak kesakitannya. Malangnya lagi, malam itu dia sendirian dirumahnya di
sebuah kawasan elit di Jakarta Utara. Pembantu yang selama ini melayaninya
sudah dua hari ijin untuk pulang mudik untu keperluan keluarga selama seminggu.
Mungkin sudah rencana Allah, Indri harus menghadapi
peristiwa ini seorang diri. Hari itu hujan turun sangat deras. Saar itu pukul
delapan malam. Indri meringis kesakitan meratapi penyakitnya. Nampak dari
jendela rumahnya air secara perlahan masuk ke garasi mobilnya sedikit demi
sedikit. Tak disangkanya, ketika dia keluar bergegas untuk melihat keadaan, air
di garasi sudah mencapai mata kakinya. Bahkan sebagian air sudah masuk pintu
depan rumahnya, sementara hujan deras belum juga mau berhenti.
Saat itulah dia terhenyak. Ia sadar bahwa banjir yang
selama ini dikirannya mustahil datang kerumahnya akan segera terjadi.
Sambil meringis, dia mencoba menghubungi semua
teman-temannya untuk meminta pertolongan, namun semua temannya tidak ada yang
sanggup menolongnya, karena jalan menuju rumahnya sudah tertutup banjir.
Mendengar jawaban teman-temannya, Indri semakin panik. Ia
tidak mampu menahan kepedihan dan keseihan hatinya. Pada saat itu, yang dapat
dia pikirkan hanyalah menyelamatkan savety box, tempat dia menyimpan semua
file, surat-surat berharga dan perhiasaannya. Namun sayang, safety box itu
tidak cukup ringan untuk diangkat oleh dirinya, apalagi dalam keadaan sakit
seperti itu.
Untunglah pada saat kepanikannya memuncak, seorang satpam
yang sedang mengevakuasi warga lewat di samping rumahnya. Keduanya kemudian
berusaha menyelamatkan safety box itu. Ia juga tidak lupa mengambil beberapa
baju yang sempat diambil dari lemari menuju loteng. Dari loteng dia melihat bagaimana
air dengan sangat cepat masuk ke rumahnya. Satu persatu semua barang yang ada
di rumahnya tenggelam.
Diiringi hujan yang sangat eras sambil menangis dia menatap
dan mulai teringat semua peristiwa yang telah dilakukannya selama ini, seolah
projector film sedang diputar di depan matanya. Dia teringa ibunya, maksiatnya,
judinya, mabuknya dan banyak hal yang sangat dimurkai Allah . Perempuan
itu sempat bergumam dalam hari, “Inikah azab Mu ya Allah ? agar aku kembali ke
jala Mu ? “
Dalam kepekatan gelapnya malam karena semua listrik
dimatikan, di tengah kesendiriannya di kamar pembantu loteng rumahnya, dia
mengambil hand phone dan mulai menekan nomer tertentu. Sambil menangis tersedu,
dia berkata, “ ibu maafkan segala kesalahanku. “
Keesokan harinya Indri pulang ke rumah ibunya untuk
mengungsi sekaligus hijrah dan bersilaturahmi kepada ibunya. Ia meminta maaf
atas segala kesalahan dan rasa dendam yang selama ini ia pendam kepada
perempuan renta yang patutnya ia hormati itu. Semoga cerita ini menjadi
pelajaran bagi kita semua . Amiin (Budi Wariadhana) dikutip dari majalah
Hidayah edisi (79)
EmoticonEmoticon